14/07/2011

finding the one - on character (1)

[Listening to soundtrack from Wong Kar Wai's movie, Ashes of Time, while writing this - and afterwards.]

I've seen a few - well, quite a big few - of my friends, finding the love of their lives, without ever having to alter their atypical personalities. I was raised in a Malay society, and despite five years spent studying overseas, I still live within a Malay circle - with certain expectations of how a woman is supposed to look, to behave, even to talk and to think.

It is common observation that the more atypical a woman is, the less easy would it be for her to find her 'one'.

It is also common to comment that men are intimidated by strong women. 'Strong' as in assertive and opinionated, with knowledge and experience to back up her claims, plus being eloquent and self-assured. In other words, a woman who does not seem to need a man to stand by her side to face the challenges of the world, and a woman who will not shy away from telling (in a nice way, if she is a nice person, that is) a man who is being silly that he is being silly.

I do not wish to explore on the accuracy of these observations and claims. I do not wish to elaborate on how women should be or how men should be or whatever. People are going to fall for whoever that they fancy, and instructing them how or for whom to fall is not going to change their personal preferences. I'm done ranting on the calamity of narrow-minded men and short-sighted women a long time ago, and I think for now, I'm happy thinking that if a man is the sort that would restrict my freedom because of his orthodoxy, and refuse to respect my intellectuality, I wouldn't even be attracted to him in the first place, so no need to concern myself about that issue.

A lot of my friends have been blessed with engagements and marriages. Most of them are self-respecting women who would not parade their fiancees or boyfriends about, or show off their relationships on social media sites in ways that seem inappropriate for a yet-unmarried couple. May Allah bless their unions, and I have no doubt that most of them found their soulmates - the one who accepts them for who they are, whatever personality they have.

Such is what I have observed amongst my friends, my strong women friends who found their partners without ever having to compromise, becoming someone that she is not. The partner accepts her for who she is. The partner even gets attracted towards her because of the personality trait(s), that at a glance, would seem like a discouraging factor.

Of course, looks - beauty and grace - also play a significant role. It may even cloud over other undesirable attributes - how else would those bitchy women ever get admirers? - but as wise people say, beauty lies in the eye of the beholder, and a bright soul shines from within, making radiant what is ordinary and plain. So for a beautiful person, character will enhance the physical grace, while for a plain person, character will render the physical more attractive. This is how I perceive men, and I'm sure a lot of decent men perceive women the same way.

Remember the curve of normal distribution? The closer one is to the mean, i.e. the more ordinary one is, then the more matches one will have. The further one is from the mean, then it means the sample size of possible partners to choose from will be smaller. Being far or close to the mean does not mean one is a better or more important person - I'm just describing it as it is. There is no attempt here to prattle on the 'highest apple on the tree is more precious' stuff. I don't really believe in it anyway.

Saying that the more difficult a person is to find his or her match, the more precious he/she is such that only the best person can get him/her (usually spoken by women to placate each other), sounds more like a false reassurance, an attempt to paint a black stone pink, to me. Just say it like it is. You've yet to find your match - it doesn't mean you're better or worse than anybody else.

As I had experienced, sometimes there is this urge, this drive, to try to normalize oneself. To reform oneself - not with the purpose of becoming a better person, but to get closer to the mean, so as to be regarded less as a weirdo, and more as potential partner, by those who matter. To express less of what one thinks, to be more bashful, to not look clever, to look uncertain (even when deep inside I'm sure as hell of myself)...

Heck it, it doesn't work. Not for long though. The character, if it is strong, if suppressed, will be like a lion in a cage. It will stay in there, but it will not be happy and quiet. It will be restless, pacing up and down, peeking at the outside world, wanting out, wanting out at the slightest chance, and sometimes the lion will roar. Glimpses of a character suppressed will always show, will always gleam, sometimes menacingly, behind the facade that one puts up for purposes of public viewing. A character suppressed, will either cause extreme suffering to the individual, or eventually come out anyway. Sometimes, it will come out with a revenge.

Of course, bad character, traits that does not comply with the Prophetic ideal, must be altered and changed to fit the proper description of a Muslim(ah) - but I will discuss that on another opportunity.

To be continued. I am snatching moments to write, read, and watch movie, while sorting out my cartons of stuff to be shipped home. Now that I'm pretty much done with my piles of books, the clothes need to sorted. MasyaAllah, alhamdulillah, I have too many clothes.

11/07/2011

requiem untuk sebuah tanah air

Seribu pasang tangan
mungkin sejuta
(aku sering terpaksa membaca riwayat
dari perawi yang tidak pernah tepat)
melambaikan bendera hitam
bendera hitam dari jalan-jalan
dari rumah-rumah
dari hati dan jiwa yang sudah lelah
satu protes kepada sebuah sejarah
sejarah tanah air yang dijarah pemerintah.

Hitam pekat tinta dari lumpur tanah
bau hamis seperti darah
masinnya seperti peluh dan air mata
bergayung-gayung tumpah
desir bendera ditiup angin,
bunyinya mirip esak-esak tangis,
sesekali terdengar raungan menghiris
atau mungkinkah itu sayup-sayup herdikan polis?

Kepala tanah air apakah itu
yang berebut negeri dengan rakyatnya
rakyat tanah air manakah itu
yang merelakan negeri direntap dari bawah kakinya
kepala tanah air zaman bilakah itu
yang mencuri negeri dari rakyatnya
dibahagi-bahagikan sesama mereka
sambil menghantar perawi-perawi dusta
rakyat tanah air bagaimanakah itu
yang menelan bohong-bohong dengan wajah suka
sementara bendera-bendera hitam terus berkibar
bertingkah dengan angin memainkan lagu perjuangan.

Kalau tanah air itu masih punya nyawa
maka akan diperjuangkanlah.

Kalau tanah air itu sudah mati asa
(seperti jasad yang dibunuh oleh kepala-kepalanya
rela menjadi hantu penanggal kerana tamak kuasa)
maka biarkan ia dikuburkanlah
bendera-bendera hitam sebagai kafan
ramai-ramai rakyat menyanyikan dendang ratapan
nyanyian selamat tinggal penuh harmoni
untuk keadilan dalam sebuah tanah air yang sudah mati.



Disiar semula dalam blog ini, dari blog yang lama, kerana terasa relevannya semula untuk waktu sekarang.

Ditulis dahulu bertarikh 6 Mei 2009, jam 6.38 pagi, ketika saya masih tinggal di Bilik F, Flat 17, Thorncliffe House. Ketika warna yang ditakuti bukanlah kuning tetapi hitam.

05/07/2011

persoalannya adalah apabila kita mati

Selalu didengar, dengan tujuan murni untuk memberi peringatan,

"Awak bayangkan bagaimana kalau awak mati esok."

Kepada yang mengejar dunia dan mengimpikan populariti, yang bersedih duka kerana gagal bercinta atau ditinggalkan kekasih hati,

"Bayangkan kalau mati malam ini, masihkah apa yang awak cita-citakan ini penting? Masihkah apa yang awak kejar ini bermakna?"

Kepada yang sedang berfoya-foya, melalaikan amanah, berpalit dengan amalan lagha, bergelak ketawa dengan bukan mahram, berdandan anggun untuk keluar melakukan maksiat dan dosa,

"Bayangkan kalau mati sekejap lagi, adakah awak masih akan buat apa yang sedang dibuat ni?"


***

Manusia, selagi mana ia percaya kepada Tuhan, tetap akan meminta kepadaNya. Malah yang mengaku tidak percaya juga akan meminta apabila terdesak. Apa yang diminta dengan paling tulus, paling bersungguh-sungguh, tentu saja apa yang paling dihajatkan, yang paling dirisaukan.

Adakah bersungguh-sungguh kita meminta syurga, takutkan neraka dan merayu keampunan,
sama bersungguh-sungguh dengan meminta sihat, selamat menikah dan lulus peperiksaan?

Kita sentiasa mendoakan kebaikan untuk masa hadapan. Berjaya lulus dalam peperiksaan, pekerjaan yang baik, sembuh daripada sakit dan sihat sentiasa, pasangan yang soleh(ah) dan baik rupa... hampir semua doa kita, perincian dalam permintaan kita, berkisar tentang dunia, tentang masa depan kita di dalam dunia. Masa depan yang kita rasa jelas, yang dirasakan nyata dan akan berlaku.

Doa yang kita peruntukkan untuk masa depan yang lebih jauh ke depan, iaitu masa depan di dalam barzakh dan di dalam akhirat, tidak banyak variasi. Minta dijauhkan seksa kubur, dilepaskan daripada azab neraka, diterima ke dalam syurga. Mungkin kerana pengetahuan kita tentang alam ghaib sebelum lahir dan selepas mati itu tidak banyak. Mungkin kerana alam ghaib - terutamanya selepas mati - kita rasakan bayang-bayang, jauh, tidak maujud boleh dipegang, tidak seperti kerusi meja, slip peperiksaan, kad undangan dan foto perkahwinan.. justeru ia tidak berasa seperti kenyataan.

Lantaran itulah apabila disuakan dengan peringatan bernada "Kalau mati esok..." atau "Kalau mati malam ini..." atau "Kalau mati sekejap lagi..." mungkin insaf dan takut akan datang untuk sesaat, namun minda rasional akan memperingatkan kita - dan peringatan ini amat betul - bahawa kebarangkalian untuk hidup itu lebih besar.

Benar kita boleh mati bila-bila sahaja, benar bumbung di atas kepala saya ini boleh roboh tiba-tiba (dan menimpa saya sekarang), benar Malaikat Maut boleh mencabut nyawa sesiapa sahaja tanpa amaran apabila takdirnya datang (jantung saya tiba-tiba berdegup lebih jelas, barangkali berdebar-debar dengan peringatan yang sedang ditulis oleh jari - sempatkah saya hidup untuk menyiarkan tulisan ini dalam blog?) - tetapi rasionalnya, kebarangkalian yang lebih besar adalah, kita akan hidup.

Kita akan hidup, dan terpaksa mendepani segala cabarannya, lalu untuk mendepani cabaran-cabaran itu, kita memerlukan pertolongan Tuhan. Ada yang pernah berkata dengan bijaksana, untuk mati itu mudah, untuk hidup lebih sukar. Lantas kita mengarang senarai permohonan kepada Tuhan, bersungguh-sungguh memohon hajat tentang kehidupan yang kita sangka bakal didepani.

Kesungguhan kita meminta untuk dunia yang bakal didepani juga tetapi mungkin lambat lagi - dunia selepas mati - boleh jadi tidak segigih itu.

Meminta, bimbang-bimbang, dan merancang untuk kehidupan dunia adalah tindakan yang betul. Amat betul. Benar, dari semasa ke semasa kita akan dikejutkan oleh berita kematian - rakan-rakan yang masih muda, yang kita kenal, yang dijemput pergi dengan mengejut, yang jatuh sakit tiba-tiba - tetapi majoriti antara kita, akan hidup. Lalu dengan jangkaan itulah, kita melalui kehidupan sehari-hari. Kita bersedia, meminta, bimbang-bimbang dan merancang untuk kehidupan hari esok yang tidak pasti, tetapi kebarangkaliannya lebih besar bahawa ia akan tiba untuk kita hadapi.


***

Maka persoalan yang lebih tepat untuk mendatangkan renungan yang mendalam, sekaligus berusaha mencetuskan keinsafan, bukanlah "Kalau mati esok..."

Persoalannya, adalah "Apabila kita mati nanti..."

Mati atau hidup esok adalah pertembungan antara dua kebarangkalian, sedangkan kematian itu sendiri adalah sesuatu yang pasti. Kita menjalani hidup dan bersedia untuk mendepani esok hari berhujahkan kebarangkalian, sedangkan tamatnya masa hidup dan mendepani pengadilan Tuhan itu adalah satu kepastian (jika anda, seperti saya, juga mempercayai Tuhan dan hidup selepas mati). Yang mana satu menang?

Jangan letakkan faktor masa di sini. Esok atau lusa atau 35 tahun lagi, mati itu akan tiba dan hidup akan berakhir. Sekarang pun, apabila mengenang waktu kanak-kanak, atau waktu remaja, kita manusia akan menoleh ke belakang dan merasakan bahawa hidup yang dilalui terlalu singkat. Tidakkah logiknya, begitu juga yang akan kita rasakan selepas mati.

Disebut di dalam al-Quran tentang manusia yang menoleh ke belakang, dan merasakan bahawa kehidupan hanyalah selama sepetang, atau lebih pendek daripada itu. Ya tuan-tuan dan puan-puan, sama ada kita hidup 20 tahun, 30 tahun, atau 40 tahun, apabila semuanya berakhir, mungkin kita akan menoleh ke belakang dan merasakan bahawa semuanya berlalu hanya sekilas.


Tugasmu hanyalah memberi amaran kepada orang yang takut akan huru-hara hari kiamat itu. (Sangatlah dahsyatnya huru-hara hari itu, sehingga orang-orang yang bersalah merasa) pada masa melihat : Seolah-olah mereka tidak tinggal di dunia melainkan sekadar satu petang atau paginya sahaja.
[An-Naazi'aat, 79:45-46]


Allah bertanya lagi (kepada mereka yang kafir itu): Berapa tahun lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab : Kami tinggal (di dunia) selama sehari atau sebahagian dari sehari; maka bertanyalah kepada golongan (malaikat) yang menjaga urusan menghitung (umur). Allah berfirman : Kamu tidak tinggal (di dunia) melainkan sedikit masa sahaja, kalau kamu mengetahui hal ini (tentulah kamu bersiap sedia).
[
Al-Mu'minuun, 23:112-114]


Beza antara hidup di dunia selama 20 tahun, 30 tahun, atau 80 tahun, jika dibandingkan dengan infiniti kehidupan selepas mati, adalah tidak signifikan.

Kalau kita berasa sedih atau kecewa kerana sesuatu hari ini, adakah ia akan penting dan bermakna selepas kita mati? Kalau kita berasa bangga kerana sesuatu hari ini, adakah ia akan bererti apa-apa ketika Izrail sedang menarik nyawa keluar daripada setiap rongga badan? Kalau kita marah atau benci kepada seseorang hari ini, adakah perasaan itu akan mempunyai sebarang maksud setelah roh bertukar alam? Kalau kita melakukan sesuatu pada ketika ini, adakah ia akan memberi sebarang nilai ketika kita terdesak mengharapkan sezarah pun kebaikan untuk ditambah atas neraca di padang mahsyar?


***

Satu persoalan tambahan. Mengapa kita semua begitu takut kepada mati? Ya, takut kerana banyak dosa, tidak sempat bertaubat, tidak dapat kumpul pahala yang cukup. Tiada jaminan bahawa kehidupan yang lebih lama, menjanjikan kehampiran yang lebih kepada Tuhan, atau keampunan yang lebih besar.

Tengok, kita pandai bermain-main dengan kebarangkalian. Kita menggula-gulakan diri sendiri dengan kebarangkalian sempat bertaubat, meminta ampun menghapuskan dosa, dan menimbunkan pahala, tetapi melupakan kebarangkalian dosa bertambah banyak dan kian jauh dengan Tuhan seiring bertambahnya usia. Sedangkan dua kebarangkalian ini lebih kurang sama besarnya - tidak sama dengan perbandingan 'mati esok atau hidup esok'.

Saya bukan hendak menganjurkan kita semua meminta mati atau berhenti hidup. Betul, kalau dirasa-rasakan mati itu sangat dekat, hendak berdoa memohon kebaikan-kebaikan dunia pun rasa tak berminat. Tak bersemangat. Contohnya, apabila menadah tangan meminta suami yang baik, tetapi dalam hati terasa amat-amat... kalau aku mati dalam jangkamasa terdekat ini, jodoh dan kahwin tentu tak mustahak langsung untuk difikirkan. Begitu juga jika memikirkan tentang kerja dan masa hadapan. Yang ditakut-takutkan adalah sakaratul maut dan azab kubur dan neraca amalan.

Harus diingat, matlamat akhir kepada doa bukanlah untuk mendapatkan apa yang dihajatkan - tetapi ia adalah ibadah, satu pengakuan kepada kehambaan diri dan kekuasaan Tuhan. Justeru walaupun tiada kepastian tentang hidup dan mati, berdoalah, mintalah kebaikan-kebaikan dalam dunia ini, kerana kalaupun kita tidak sempat hidup untuk menikmati makbulnya doa, ganjaran daripada ibadah berdoa itu tetap ada, dengan rahmatNya.

Berdoalah dengan penuh pengharapan dan rasa lemah, tidak berdaya - mintalah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat - sebagai tanda kesaksian bahawa hanya kepada Tuhanlah kita menyerahkan segala-galanya.

Satu doa yang dimohonkan oleh Nabi SAW, terjemahan dalam buku yang saya gunakan adalah dalam Bahasa Inggeris,

"...O Allah, by Your Knowledge of the unseen and by Your Power over creation, let me live if You know that life is good for me, and let me die if You know that death is good for me..." daripada An-Nasa'i 3/54,55, Ahmad, 4/364, tengok juga Al-Albani, Sahih An-Nasa'i 1/281.

Kita diajar meminta daripada Tuhan agar membiarkan kita hidup, jika hidup itu lebih baik, dan menentukan mati, jika mati itu benar lebih baik.


***

Persoalannya, ya, bukanlah jika kita akan mati esok atau lusa, tetapi, apabila kita mati nanti, apakah yang akan penting dan bererti?

Dari Imam Bukhari,

Rasulullah SAW diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a., sebagai bersabda yang bermaksud,
“Hendaklah engkau jadikan dunia ini seolah-olah berdagang di negeri orang atau sebagai orang yang melintasi jalan."

Ibnu Umar r.a. berkata,” Jika kamu berada diwaktu petang janganlah kamu tangguh diwaktu pagi dan jika kamu berada diwaktu pagi janganlah kamu tangguh diwaktu petang. Rebutlah kesempatan sewaktu kamu berada didalam keadaan sihat, sebagai persediaan diwaktu engkau sakit dan ketika engkau masih hidup sebagai bekalan ketika engkau mati”.

01/07/2011

a cup of coffee

[Listening to Shirley Lu's Spell of Love, an instrumental Chinese music piece played on pipa. I remember being captivated by the music and the green-hued forest setting when watching it as a small kid on TV. ]

Once, in September 2010, I went to Tameside Hospital for a brief session in Obstetrics and Gynaecology. I was just expecting to brush up a bit on my long-abandoned O&G knowledge and skills. It was good in a way to start with a modest expectation, because there wasn't a lot of patients in the ward, and not a lot of variety, that the rounds start late and finish very early. I ended up occupying the time left by learning prescribing from the foundation doctor in charge - and one more thing.

He was young, with a (stylishly) bald head, and wears a hearing aid. We went to the break room for some hot drink and toast. He was nice enough to make a cup for me - coffee, hot water, milk, two sugars. For himself though, it was much simpler. He took a large mug, put in some coffee in it, then poured hot water.

"Don't you put any sugar or milk?"
"No, this is fine for me."

My tastes and choices in drinks have underwent changes over the years. In Malaysia, I swore by Milo and the occasional Horlicks. When I commenced studies in the UK, for the first two years, I almost never touched coffee. When asked "tea or coffee?" I would always go for the former, claiming that the latter causes headaches, tummy upsets, excessive trips to the ladies', and if taken in the evenings, it will guarantee possibly hours of insomniac tossing and turning.

I didn't exactly remember when did I start taking coffee. Perhaps it was sometime in the third year of medical school. Then I started to get hooked to it - attached, but not addicted. There wasn't really unpleasant effects to speak of, apart from the frequent trips to the WC. Now, I definitely prefer coffee to tea, anytime.

I did not take the beverage for the 'caffeine rush' - I don't think it really gave me any additional freshness or alertness, although my favourite time for taking a cup would be in the morning, during somnolence-friendly lectures or late at night when there is still that little bit of work that needs to be done before going to bed. I think the awakening effect, for me, comes largely from the act of drinking something hot with a unique flavour.

Sometimes, taken excessively, especially during lengthy programs or camps when cups upon cups of coffee will be downed almost subconsciously, I will get the 'side effects'. Headaches, nausea, and that strange feeling of 'caffeine high' as I called it, a feeling of feverish wakefulness where one is not able to sit down and rest, let alone sleep, but the concentration is very superficial such that one cannot actually be productive.

I'm massively digressing. The point I was about to get to was actually my favourite way of preparing coffee. Lots of sugar, then milk. (Those who had had the chance to cook with me or sample my cooking will agree that sugar is an essential part - be it curry, sambal, fried rice, masak lemak, stir-fry vegs..you name it, I'll sprinkle some sugar in it.)

However, watching the young doctor making his coffee, my practice was put into contemplation. What if I give it a try? Coffee without sugar seems to be a good way to reduce my calorie intake, and I like the zen-like quality of self-control involved in training myself to like a new, supposedly less pleasant taste than what I'm used to. I didn't really give it much serious thought, but perhaps I can remember later asking a nurse who offered me a coffee, to make it without sugar. And I haven't looked back since. OK, maybe I did, two or three times, and I do drink 'normal' coffee when it was served in jugs for social settings.

Once, I offered to make my consultant supervisor - a very nice man originally from Lebanon, tall and fair, with a lot hair (not very stylishly) gone - a cup of coffee together with mine. When I told him that I prefer mine without sugar, he shook his head and said that coffee without sugar would lack pleasantness (or something to that effect).

Now, almost ten months after starting, I have actually loved coffee (and the occasional tea), with three-quarters hot water, one-quarter milk, and no sugar. Sometimes I made do without the milk. Very few of my friends would share a cup with me for that reason - a number of them feel that coffee without sugar is rather unpalatable.

There is no thrill of self-control, of accustomizing myself to the unfamiliar, of training my long-conditioned tastebuds to appreciate a foreign sensation, not anymore, the transition phase is over. I still add sugar to a lot of my cooking, and two days ago my housemates complain that my cordial was excessively sweet. However, when it comes to caffeinated beverages, I do not need - or want - sugar anymore. The full-bodied, slightly bitter, flavour of good roasted or freeze-dried coffee, accentuated by creamy milk, fragrant steam emanating from the brim, sometimes I take more than three cups a day, for no other reason than simple desire.

I was accustomed to associate sweetness with pleasure. Not one packet of sugar for my coffee, but two. Little did I know that bitter is also delicious, and that there are other pleasant flavours as well to be discovered in a cup of coffee - until I trained myself to appreciate them, and finally, I am contented with them.

[Having just finished a cup of coffee, and about to prepare for Fajr prayer. Maybe I'll take one more cup before going to sleep.]